Friday, October 16, 2009

PROFIL ORANG RUTUNG


Wai Hula, salah satu sumber air di Rutong. Biasa disebut "Aer Laki-laki"

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Sekilas Negeri Rutung


Negeri Rutung terletak di kawasan Teluk Ambon Baguala. Franciscus Xaverius, dalam kunjungannya ke negeri-negeri di Pulau Ambon, menyebut negeri ini terletak di balik “batu patah”. Dari negeri ini, menurutnya kita dapat melihat sebuah tanjung yang indah bentuknya, yakni tanjung Riki, dan di dalam lautnya tampak pasir-pasir yang berwarna-warni. Yoseph Kam, di kemudian hari malah senang memandang pasir-pasir itu dari ketinggian negeri lama, kala ia melakukan perjalanan pelayanannya ke daerah ini.

Nama Rutung diambil dari akta “rutui” yang berarti “kumpulan batu tempat berkumpul (musyawarah)”. Kata “rutui” sendiri menunjuk pada sebuah peristiwa musyawarah antara datuk-datuk negeri dengan para pendatang dari Amakele Lorimalahitu (Pulau Seram). Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal terbentuknya hubungan gandong antara Rutung dengan Rumahkay.

Sebelum itu negeri Rutung terletak jauh ke bagian gunung Horil, berbatasan dengan Soya dan Ema. Negeri ini dikenal sebagai negeri pertama, dengan nama “Nuru Aman Mena Muri”, atau “Negeri yang aman di bagian depan dan di belakang”. Bekas negeri ini masih ada sampai sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan “Batu Minong Aer”.

Di Nuru Aman Mena Muri, komunitas orang-orang Rutung dipimpin oleh seorang Kapitan bergelar “Upu Latu Sibenung”, dari mata rumah Soumahu – Makatita Lisa. Di sana mereka jauh dari kontak dengan orang-orang luar. Kontak pertama diperkirakan terjadi dengan orang-orang dari Liang (Leihitu – P. Ambon), yang dikepalai “Maulana Malik Akipai Lessy”, salah seorang putra Lessy yang berkelana mencari saudari perempuannya ke Haruku. Karena tidak ditemui, ia lalu berlayar dan tiba di Rutung, lalu menetap di sana karena gagal bertemu adiknya itu; tidak pulang lagi ke Liang.

Para datuk Lessy kemudian membangun permukiman mereka di Ama Buasa (Bapak Berpuasa). Lambat laun, penduduk Rutung di Nuru Aman Mena Muri, turun dan tinggal bersama di Ama Buasa, lalu membangun permukiman baru (negeri kedua). Dibangun pula Baileu, berupa susunan batu, yang lokasinya kini disebut Negeri Lama. Di situ akan tampak susunan batu Kapitan, Malessy dan Mauweng, yang dikelilingi ole batu-batu tempat duduk kepala soa pada saat rapat Saniri. Ketika menempati Ama Buasa, mata rumah Makatita membuat permukiman agak terpisah, dan menetap di Mamina.

Di Ama Buasa, sebetulnya orang Rutung telah mengalami kontak dengan Islam dari Liang. Hanya kelompok ini dalam jumlah yang kecil, dan tidak bertujuan menyiarkan agama. Mereka hanya sekelompok keluarga yang enggan pulang karena kegagalan dalam menjalankan tugasnya. Jadi Rutung dipilih sebagai tempat persembunyian.

Dalam waktu yang tidak terlalu jauh, orang Rutung juga mengalami kontak dengan para pendatang dari Jawa, yakni dari Kerajaan Majapahit. Sisa peninggalan yang masih ada di Rutung sampai saat ini adalah “Maspait”. Maspait sendiri pada awalnya adalah sebutan khusus utnuk “Raden Mas Inang Majapahit”, seorang putra dari Kerajaan Majapahit, yang menetap di Rutung bersama salah seorang pengawasnya, Naroja. Ia berkenderaan Kereta Kuda Emas, dan setiap sore, sering berjalan-jalan ke pesisir pantai bersama para pengawalnya. Oleh Upu Latu Sibenung, mereka diberi tempat tinggal di Ama Buasa, di samping barat Baileu Negeri (Negeri Lama). Dan mata rumah Rewaheli Timu Timu yang bertugas menjaga (pintu) keluar masuk Raden Mas Inang Majapahit ini. Pada zaman Belanda, istilah Maspait kemudian menjadi gelar bangsawan untuk pemerintah Rutung dengan sebutan Maspait Printah.

Peristiwa latinya moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary, sebagai cikal bakal terjadinya hubungan gandong Rumahkay-Rutung, terjadi ketika orang-orang Rutung mendiami negeri Ama Buasa ini.

Di zaman pemerintahan Belanda, orang-orang Rutung diturunkan dari Ama Buasa ke negeri yang sekarang. Kapan tepatnya peristiwa itu, sudah tidak diketahui secara pasti. Ketika turun menetap di negeri yang sekarang, teritori negeri dibagi dalam dua bagian, yakni Uku dan Weroang, yang dipisahkan oleh Wai Mandoi.

Daerah Uku bertugas menjaga perbatasan dengan Hutumuri, sedangkan Weroang untuk menjaga perbatasan dengan Hukurila dan Ema. Daerah Weroang ditempati oleh soa-soa yang pada saat di Ama Buasa mendiami bagian Barat Beileu. Sedangkan Uku ditempati mata rumah Makatita, yang mendiami bagian Utara Baileu Negeri. Mata rumah Lessy, kemudian mendiami pesisir pantai di Tepa Puting, berdekatan dengan dusun soa, yang ditumbuhi tanaman sagu, yang dibawa oleh para datuk dari Rumahkay. Dalam waktu selanjutnya mereka berpindah ke negeri, dan menempati daerah bagian Selatan, berdekatan dengan pantai. Konstruksi permukiman seperti itu masih ada sampai saat ini.

Di negeri ketiga ini, pemerintahan negeri ditata secara rapih. Soa-soa tetap difungsikan. Hanya pemerintahan Kapitan beralih ke Raja dengan gelar Maspait Printah.

2. Lopurisa Uritalai: Falsafah dan Kearifan Lokal

Lopurisa Uritalai, nama adat Negeri Rutung, yang berarti “parang perang dipotong pada pohon”. Nama ini diperkirakan baru muncul dalam peristiwa datangnya moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary dari Amakele Lorimalahitu.

Nama ini menunjuk itikad baik orang Rutung untuk menghentikan perang. Mereka tidak mau berperang dengan orang lain, sebaliknya hendak membangun persaudaraan. Peristiwa itu terjadi di tempat musyawarah yang bernama “rutui”, di pesisir pantai (daerah kaki air Wai Hula).

Istilah “rutui” sendiri berarti “tempat berkumpul”. Dari arti itu, orang Rutung selalu terbuka kepada orang lain. Sudah menjadi kebiasaan, setiap tamu yang datang di negeri ini akan dilayani dengan sangat baik, karena setiap tamu dipandang sebagai bagian dari keluarga sendiri. Rutung adalah sebuah negeri yang kecil, tetapi spirit bersama dan berkumpul membuat orang suka datang ke negeri ini.

Persekutuan dan persaudaraan menjadi spirit sehingga tidak perlu berselisih, bahkan dengan negeri-negeri sekitar sekalipun. Ini telah menjadi semacam filsafat atau kearifan lokal yang muncul dari pengalaman sejarah masa lampau. Dengan kearifan lokal itu, orang-orang Rutung terbuka menerima siapa saja untuk menetap di sana. Lopurisa Uritalai sebagai nama adat dan falsafah negeri, mengidealkan sebuah perilaku yang rekonsiliatif. Ia lahir dari sebuah peristiwa musyawarah untuk menerima masuknya sekelompok orang baru ke dalam komunitas masyarakat negeri Rutung. Peristiwa itu disertai dengan komitmen berdamai. Sebuah falsafah yang memperlihatkan bahwa semangat persaudaraan itu termaterialisasi secara praktis dalam kehidupan orang Rutung.

Spirit ini menjadi dasar hidup bersama yang dimanifestasikan dalam berbagai ragam kehidupan masyarakat, termasuk seni.

Cakalele, sebagai tarian adat masyarakat Maluku. Di Rutung, Cakalele ini disebut sebagai “Cakalele Bulu Ayam”. Suatu ragam Cakalele yang lebih menampakkan suatu formasi kebersamaan, ibarat sebuah rangkaian syukuran (mungkin setelah menang dalam peperangan).

Syairnya “oh manu kiris e, manu maneggole, gege rege raga bumi, manu maenggole,
gege rege raga bumi, nanau lopurisa e”.

Syair ini lebih menunjuk pada perayaan sebuah kebersamaa menyambut datangnya seorang baru ke dalam komunits orang Rutung. Orang baru itu telah bersepakat untuk tinggal dan menetap sebagai bagain dari orang Rutung.

Bahkan formasi Kapitan, Malessy, dan pasukan Cakalele dalam barisan Cakalele ini pun menampakkan semangat kebersamaa. Apalagi, nyanyian pengantar cakalele biasa dinyanyikan oleh mata ina dari mata rumah Makatita Lisa.

Unsur Seni yang lain, yang menampakkan semangat persaudaraan orang-orang Rutung adalah Dansa Tali. Oleh pencetusnya (Marthen Thenu – Anak Talahatu), formasi talinya merupakan gambaran dari komposisi soa-soa di Rutung. Ketika tali dipintal menjadi dua, mensimbolkan daerah Uku dan Weroang, yang dipisahkan oleh Wai Mandoi. Kemudian disatukan kembali sebagai simbolisasi kebersamaan anak negeri Rutung. Tarian ini biasa dimainkan oleh Jujaro Ngungare, sebagai simbolisasi alih generasi. Kini bahkan dimainkan oleh anak-anak usia Sekolah Dasar.

Semangat itu pun tampak dalam pesta adat “Round Pisang”. Oleh pencetusnya, Bartholemeus Talahatu, arena round pisang dibuat seperti mata angin, yang menggambarkan batas-batas negeri. Pusat mata angin biasa ditanami sepohon pisang yang sudah siap panen. Titik pusat itu adalah representasi negeri yang berada di tengah pusaran mata angin. Setiap peserta round pisang akan berjalan menuju pusat dari semua penjuru mata angin.

Pohon pisang yang menancap di tengah arena, wajib disentuh oleh setiap peserta. Itu merupakan tanda dari potensi sumber daya alam yang tersedia di negeri Rutung. Kebersamaan itu menunjuk pada adanya ikatan yang kuat, bahkan dalam masa raya panen.

Orang Rutung, akan lebih dikenal dari rangkaian makna falsafah mereka seperti terurai tadi. Sekelompok masyarakat yang akrab dengan setiap orang. Sikapnya yang tenang, karena jauh dari gelora laut, serta tinggal di daerah lembah gunung Horil dan Bukit Tinggi.

Semangat bersekutu, bahkan dengan orang luar, adalah manifestasi dari pengalaman sejarah pertemuannya dengan komunitas lain, jauh pada masa leluhur.

Mae ka rutui
Fondasi kebersamaan anak negeri vor bangong negeri

27 Juli 2004
dari Kota Hati Beriman – Salatiga

Cakalele Bulu Ayang




Cakalele sebagai tarian negeri adat di Maluku cukup bervariasi. Jenis yang pertama adalah ‘Cakalele Perang’, yakni cakalele sebagai simbol perjuangan masing-masing negeri menghadapi lawannya.

Cakalele perang ini adalah cakalele yang muncul di masa awal yakni pada masa ketika masing-masing klen/suku atau negeri masih mencari lokasi negeri/teritori untuk membangun permukiman mereka. Biasanya di masa ketika leluhur masih berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Ini sangat terkait dengan sejarah perpindahan para leluhur sampai menetap di suatu lokasi yang tetap.

Karena itu cakalele jenis ini adalah ritus awal untuk pergi berperang dan ritus kemenangan setelah pulang dari perang. Di Seram, cakalele kemenangan ini biasanya juga dikenal dalam nama atau jenis lain yaitu ‘maru-maru’/’maku-maku’.

Jenis yang kedua, yang berkembang di waktu kemudian, pada saat telah terjadi kontak sosial suatu negeri dengan negeri lainnya, adalah ‘Cakalele Bulu Ayang’ (ayam). Cakalele ini adalah cakalele penyambutan, sebagai simbol kesediaan suatu negeri adat menyambut orang dari negeri lain yang datang ke negeri mereka. Karena itu dalam banyak hal cakalele ini lebih bermakna persahabatan.

Cakalele di Negeri Rutong adalah ‘Cakalele Bulu Ayang’. Cakalele ini pertama kali digelar pada saat datang moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary dari Negeri Rumahkay – Amakele Lorimalahitu di Pulau Seram. Peristiwa yang mendasari hubungan Gandong Rumahkay-Rutong.
Setelah Moyang Lessy bermusyawarah dengan Moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary di ‘hatola rutui’ (tempat musyawarah) yakni di pesisir pantai Rutung, barulah mereka diantar ke wanung/baileu negeri dengan disambut Cakalele oleh masyarakat Negeri Rutong. Kala itu masyarakat Rutong sudah menempati Negeri yang kedua di Amabuasa.

Pada saat sebelum cakalele, ada kapata yang dinyanyikan oleh Moyang Makatita Lisa, sebagai Mauweng Negeri Rutong.

Syairnya:

Oh…manu kiris eee….manu maenggole
Gegerege raga bumi nanau lopurisa ooo
Gegerege raga bumi nanau lopurisa ooo
Meski oooo manu kiris eee
Gegerege raga bumi nanau lopurisa ooo
Gegerege raga bumi nanau lopurisa ooo

Artinya:
[oo lihat itu burung…..itu burung maenggole
[Dan] lihat anak negeri menari melihat parang perang itu
[Dan] lihat anak negeri menari melihat parang perang itu
Lihat burung itu
[Dan] lihat anak negeri menari melihat parang perang itu
[Dan] lihat anak negeri menari melihat parang perang itu




Ritus Cakalele

Di kemudian hari, Cakalele Negeri Rutong itu mulai disusun menjadi satu tarian yang tersistem mengikuti struktur pemerintahan adat Rutong.

Kapitangnya dipercayakan kepada Maspaitella, yang dalam struktur adat menempati posisi Kapitang Besar.

Malessy adalah marga Talahatu, yang dalam struktur adat menempati posisi sebagai Penjaga Pintu Kerajaan.

Pasukan Cakalele disebut dengan nama “arumate’ yang terdiri dari 16 orang.
Sebelum acara Cakalele dipentaskan biasanya ada ritus persiapan pada malam sebelumnya. Pasukan cakalele biasanya keluar dari Rumah Kapitang Besar, dan diantar oleh Mauweng menuju Wai Lilinita (Air Bak/Air Parampuang) untuk dimandikan. Setiba di Wai Lilinita, Kapitan yang pertama-tama turun mandi sambil mengambil air untuk dimasukkan ke dalam botol. Air itu selanjutnya disebut Air Kapitang. Air itu akan digunakan sebagai ‘tolak bala’ jika ada orang lain yang mengirimkan ilmu hitam kepada pasukan cakalele. Setelah kapitan naik dari dalam air, baru pasukan cakalele lainnya turun dan mandi. Setelah itu mereka dilarang untuk melakukan pekerjaan apa pun sampai selesai Cakalele.

Namun jika pasukan Cakalele akan ‘bermain’ [atraksi tarian] di luar Negeri, misalnya di Kota Ambon untuk acara tertentu, ritusnya akan lebih lengkap.

Pada malam sebelum keberangkatan, pasukan Cakalele berkumpul di Rumah Kapitang Besar. Mauweng akan mengantar mereka menuju Wai Lilinita untuk dimandikan. Setelah dimandikan, semua pasukan cakalele harus berpakaian lengkap.

Keesokan paginya, mereka harus menuju Baileu Negeri dan memakan tanah yang ada di tiang baileu. Kemudian sambil berjalan kaki dalam formasi Cakalele, menuju Kaki Negeri, dan melakukan Cakalele penghormatan kepada Kapitang Besar Latu Sibenehung (Moyang Makatita yang dahulu merupakan Kapitang Besar), kemudian menuju Negeri Lama, dan melakukan Cakalele Penghormatan di Baileu Negeri Lama.

Di situ, sebelum Cakalele Penghormatan, diadakan doa adat oleh Mauweng Negeri (Makatita Lisa). Di Baileu Negeri Lama itu terdapat tiga buah batu: Batu Kapitang, Batu Malessy dan Batu Mauweng. Masing-masing Pejabat itu akan berdiri di masing-masing batunya, dan mendengar petuah dari Mauweng. Baru pasukan berjalan kaki menuju Batu Pintu di bekas Negeri pertama, Nuru Aman Mena Muri, dan melakukan Cakalele penghormatan di sana. Baru kemudian berjalan ‘keluar’ dari petuanan Rutong menuju Kota Ambon. Ada lagi satu lokasi di Petuanan Soya di mana semua ‘kapaseti’ harus dilepaskan sebagai tanda penghormatan kepada Raja dan masyarakat Negeri Soya.

Kemudian pasukan cakalele berjalan turun ke Gang Singa. Di depan Gang Singa juga dilakukan cakalele di situ, kemudian ke Wai Tomu [Rumah Paays] juga dilakukan Cakalele Penghormatan. Baru pasukan Cakalele Negeri Rutong menuju tempat ‘atraksi’ yang dimaksud [sesuai undangan].

Perlengkapan

Perlengkapan Cakalele:
- Pakaian (baju dan celana)
- Tifa 4 buah
- Gong 1 buah
- Parang 16 buah
- Salawaku 16 buah
- Kapaseti (topi Arumate/pasukan cakalele) 16 buah
- Lestayer (2 buah untuk Kapitang dan Malessy)
- Tombak 2 buah dan Salawaku (untuk Kapitang dan Malessy)


Thursday, October 15, 2009

Round Pisang

‘Round pisang’ adalah salah satu jenis tari-tarian adat di negeri Rutong. Tarian ini diciptakan oleh Bartolomeus Talahatu (biasa disapa: “Tete Bo”) pada tahun 1961. Saat itu Pemerintah Negeri Rutong hendak membangun bangunan Sekolah Dasar Negeri, karena bangunan Sekolah Rakyat [kala itu di samping gedung gereja Rutong] yang ada sudah tidak memadai, atau sudah dalam kondisi rusak.

Untuk menggalang dana, maka Tete Bo berprakarsa menciptakan satu jenis tarian, dengan mengembangkan ide ‘Tari Lenso’ dan “Katredji’ – seperti halnya Marthin Thenu, menciptakan tarian “Dansa Tali’ pada tahun 1947 – bertepatan dengan Sosialisasi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ide Bartolomeus Talahatu ini dikembangkan dengan membangun suatu arena ‘pesta’ dengan sebatang pohon pisang di tengah arena pesta itu. Arena pesta itu dibangun dengan membuat jalan masuk dari empat penjuru mata angin – Pintu Timur (sebagai pintu masuk utama), Pintu Barat, Pintu Utara dan Pintu Selatan. Pusat pertemuan dari empat Pintu masuk itu adalah sebatang pohon pisang.

Peserta ‘Round Pisang’ berpasang-pasangan (lelaki-perempuan), dan setiap pasangan adalah ‘orang basudara’/’ade deng kaka’ (adik-kakak), baik untuk kelompok anak-anak, remaja maupun dewasa, serta pasangan suami-istri.

Setiap pasangan berbaris di depan Pintu Utama. Marga Talahatu yang memberi komando, serta anak-anak Talahatu yang memimpin barisan. Dengan iringan lagu ‘polonese’ rombongan round pisang masuk ke dalam arena dari Pintu Utama (Timur) dan langsung menuju ‘pohon pisang’ di tengahnya, lalu berjalan mengitari pohon pisang itu masuk keluar semua pintu, dan kembali lagi ke Pintu Utama.

Kemudian, pasangan-pasangan itu kembali masuk sambil diiringi tarian lenso, dan setiap pasangan berjalan pada jalur jalan yang terpisah, laki-laki pada jalurnya, dan perempuan pada jalurnya, sampai bertemu kembali di pusat, yakni pada ‘pohon pisang’. Kemudian bersatu kembali terus menari mengelilinginya sampai keluar kembali. Lalu masuk kembali seperti sebelumnya, tetapi kemudian sambil setiap orang menyentuh ‘rambu pisang’ (tandan).

Tarian dilanjutkan seperti pada awalnya, namun setiap kali menyentuh tandan (rambu) pisang, setiap pasangan atau setiap orang meletakkan uang (dalam jumlah tertentu secara sukarela) pada wadah [berupa kamboti] yang sudah disiapkan. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali, dan pada akhirnya pisang itu akan dilelang. Pemenangnya yang akan memotong pisang tersebut untuk dibawa pulang ke rumahnya.

Pesta Round Pisang biasanya diakhiri dengan Dansa Katredji dan Pesta Negeri pada malam harinya.

Mengapa Round Pisang

Menurut Tete Bo dalam wawancara yang pernah saya lakukan dengannya pada tahun 1993, selain karena alasan menghimpun dana untuk pembangunan SD Negeri Rutong, kala itu di Rutong ada panen besar (bahasanya: buah-buah seng putus). Panen cengkih, pala, langsat, durian, silih berganti.

“Cengkeh su merah, mar ada yang baru dudu tai tikus lai. Duriang jatuh kona, mar ada deng bunga lai. Di lao lai, ikang banya. Labuang tuh rame tiap sore. Orang pi iko ikang [memancing Tuna/Cakalang], pulang deng Tatihu deng cakalang tuh banya. Itu Negeri isi fool”, tutur Tete Bo waktu itu.

Atas alasan itu, Tete Bo menciptakan Round Pisang. Mengapa Pisang? Memang pisang, menurutnya hanya simbol dari semua berkat yang ada kala itu. Namun, karena menurutnya, pisang itu merefleksikan ‘persekutuan’. Tete Bo bilang bagini: “Pisang tuh tumbuh rame, akang pung mai tuh biasa anana kan tumbu banya di bawah lai. Trus, sarambu pisang tuh buah banya. Satu sika tuh bisa 20-an biji, deng akang satu sika rame-rame, seng tapisah”.

Karena itu menurutnya: “tagal itu di Round Pisang, samua pasangan musti dari satu keluarga. Mama, papa, deng anana. Musti ade deng kaka, ka seng laki deng bini. Jang yang batunangan, nanti dong cuma inga kaweng muda-muda”.

Dengan demikian melalui Round Pisang, persekutuan ‘orang tatua deng anana, ade deng kaka tuh musti katong jaga bae-bae’, lanjutnya.

Wednesday, September 23, 2009

Wai Lilinita

Sejarah tentang Wai Lilinita, atau lazim disebut ‘Air Bak’ atau "aer parampuang' sudah sulit dijejaki. Umumnya dituturkan bahwa, Wai Lilinita adalah satu kolam air yang ditanam oleh seorang perempuan dari marga Tehupeiory (Hutumuri), yang kawin dengan seorang lelaki dari marga Maspaitella dari Negeri Rutong. Ia sering dipukuli suaminya. Karena itu setiap menangis, air matanya ditampung pada ‘tempurung’ (batok) kelapa.

Suatu ketika air mata di dalam ‘tempurung’ itu penuh dan perempuan tadi menanamnya di dapur rumahnya. Menurut tuturan yang pernah ada, tempatnya yang sekarang adalah bekas rumah kedua suami-istri tadi. Air yang ditanam itu kemudian muncul seperti mata air dari dalam tanah, dan sumbernya semakin membesar hingga menenggelamkan rumah itu.
Sumber air, tempat ‘tempurung’ tersebut ditanam dari dahulu menjadi sumber air minum satu-satunya di Rutong, dan kini telah dibangun menjadi empat bagian. Bagian ‘air mata’ sebagai tempat air minum; bak besar – sebagai tempat mandi perempuan dewasa, bak kecil sebagai tempat mandi anak-anak kecil (laki-laki dan perempuan), dan bagian di bawahnya sebagai tempat cucian umum. Air ini tidak mengalir ke pantai, tetapi tergenang di dalam dusun sagu. Salah satu cabangannya bermuara di kolam air Kapui, tempat orang Rutong dahulu membuat ‘goti’.

Di beri nama Lilinita, diperkirakan mengikuti nama perempuan Tehupeiory tadi. Biasanya juga disebut Air Perempuan, karena diperuntukkan kepada perempuan. Sedangkan Wai Hula yang diperuntukkan sebagai tempat mandi laki-laki dewasa, dan juga tempat mencuci untuk perempuan.

Sunday, September 20, 2009

Panas Gandong Amalopu 1980

Panas Gandong merupakan ‘ritus adat’ antara dua negeri gandong, Rumahkay (Amakele Lorimalahitu) dan Rutong (Loupurisa Uritalai) yang diselenggarakan tiap 5 tahun sekali, sesuai dengan pengelompokkan Pata (Kelompok) Lima, sebagai persekutuan (liga) adat kedua negeri.

Dalam tradisinya, kedua negeri ini mengakui sekandung (kakak-adik), karena itu sapaan yang biasa dikenakan kepada tiap anggota masyarakat adalah “gandong kaka” dan “gandong ade”. Jadi tiap orang Rutong menyapa saudara gandongnya, harus diawali dengan sebutan “gandong kaka…” baru menyebut namanya, sebaliknya juga demikian.

Ritus Panas Gandong tahun 1980, adalah yang terakhir dalam kurun waktu 1980-an sampai kini. Beberapa kali harus dilaksanakan, namun terkendala oleh beberapa hal prinsip. Pada tahun 1995, kendalanya adalah Pemerintahan Negeri di kedua Negeri yang belum terbentuk; dan selanjutnya oleh alasan situasi keamanan Maluku yang belum kondusif.

Gambar ini adalah gambar anak-anak SD Negeri Rutong yang sedang menanti kedatangan gandong kaka di jalan depan sekolah, sambil mendendangkan lagu Penyambutan berjudul “Hidop Gandong” Melodi & Syair diciptakan oleh Frans Pesulima:

Syairnya:

Dengan gembira kami sambut gandong eee
Ya lima tahun kita telah bercerai
sekarang kita kembali baku dapa
sio sungguh manis pri hidup gandong eee
Reef.
Gandong eeee (gandong eee)….gandong eeee
Mengarung laut sengsara badan eee
Si gandong (sio gandong)
Potong di kuku rasa di daging eee
Hidop ade kaka