Friday, October 16, 2009

PROFIL ORANG RUTUNG


Wai Hula, salah satu sumber air di Rutong. Biasa disebut "Aer Laki-laki"

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Sekilas Negeri Rutung


Negeri Rutung terletak di kawasan Teluk Ambon Baguala. Franciscus Xaverius, dalam kunjungannya ke negeri-negeri di Pulau Ambon, menyebut negeri ini terletak di balik “batu patah”. Dari negeri ini, menurutnya kita dapat melihat sebuah tanjung yang indah bentuknya, yakni tanjung Riki, dan di dalam lautnya tampak pasir-pasir yang berwarna-warni. Yoseph Kam, di kemudian hari malah senang memandang pasir-pasir itu dari ketinggian negeri lama, kala ia melakukan perjalanan pelayanannya ke daerah ini.

Nama Rutung diambil dari akta “rutui” yang berarti “kumpulan batu tempat berkumpul (musyawarah)”. Kata “rutui” sendiri menunjuk pada sebuah peristiwa musyawarah antara datuk-datuk negeri dengan para pendatang dari Amakele Lorimalahitu (Pulau Seram). Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal terbentuknya hubungan gandong antara Rutung dengan Rumahkay.

Sebelum itu negeri Rutung terletak jauh ke bagian gunung Horil, berbatasan dengan Soya dan Ema. Negeri ini dikenal sebagai negeri pertama, dengan nama “Nuru Aman Mena Muri”, atau “Negeri yang aman di bagian depan dan di belakang”. Bekas negeri ini masih ada sampai sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan “Batu Minong Aer”.

Di Nuru Aman Mena Muri, komunitas orang-orang Rutung dipimpin oleh seorang Kapitan bergelar “Upu Latu Sibenung”, dari mata rumah Soumahu – Makatita Lisa. Di sana mereka jauh dari kontak dengan orang-orang luar. Kontak pertama diperkirakan terjadi dengan orang-orang dari Liang (Leihitu – P. Ambon), yang dikepalai “Maulana Malik Akipai Lessy”, salah seorang putra Lessy yang berkelana mencari saudari perempuannya ke Haruku. Karena tidak ditemui, ia lalu berlayar dan tiba di Rutung, lalu menetap di sana karena gagal bertemu adiknya itu; tidak pulang lagi ke Liang.

Para datuk Lessy kemudian membangun permukiman mereka di Ama Buasa (Bapak Berpuasa). Lambat laun, penduduk Rutung di Nuru Aman Mena Muri, turun dan tinggal bersama di Ama Buasa, lalu membangun permukiman baru (negeri kedua). Dibangun pula Baileu, berupa susunan batu, yang lokasinya kini disebut Negeri Lama. Di situ akan tampak susunan batu Kapitan, Malessy dan Mauweng, yang dikelilingi ole batu-batu tempat duduk kepala soa pada saat rapat Saniri. Ketika menempati Ama Buasa, mata rumah Makatita membuat permukiman agak terpisah, dan menetap di Mamina.

Di Ama Buasa, sebetulnya orang Rutung telah mengalami kontak dengan Islam dari Liang. Hanya kelompok ini dalam jumlah yang kecil, dan tidak bertujuan menyiarkan agama. Mereka hanya sekelompok keluarga yang enggan pulang karena kegagalan dalam menjalankan tugasnya. Jadi Rutung dipilih sebagai tempat persembunyian.

Dalam waktu yang tidak terlalu jauh, orang Rutung juga mengalami kontak dengan para pendatang dari Jawa, yakni dari Kerajaan Majapahit. Sisa peninggalan yang masih ada di Rutung sampai saat ini adalah “Maspait”. Maspait sendiri pada awalnya adalah sebutan khusus utnuk “Raden Mas Inang Majapahit”, seorang putra dari Kerajaan Majapahit, yang menetap di Rutung bersama salah seorang pengawasnya, Naroja. Ia berkenderaan Kereta Kuda Emas, dan setiap sore, sering berjalan-jalan ke pesisir pantai bersama para pengawalnya. Oleh Upu Latu Sibenung, mereka diberi tempat tinggal di Ama Buasa, di samping barat Baileu Negeri (Negeri Lama). Dan mata rumah Rewaheli Timu Timu yang bertugas menjaga (pintu) keluar masuk Raden Mas Inang Majapahit ini. Pada zaman Belanda, istilah Maspait kemudian menjadi gelar bangsawan untuk pemerintah Rutung dengan sebutan Maspait Printah.

Peristiwa latinya moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary, sebagai cikal bakal terjadinya hubungan gandong Rumahkay-Rutung, terjadi ketika orang-orang Rutung mendiami negeri Ama Buasa ini.

Di zaman pemerintahan Belanda, orang-orang Rutung diturunkan dari Ama Buasa ke negeri yang sekarang. Kapan tepatnya peristiwa itu, sudah tidak diketahui secara pasti. Ketika turun menetap di negeri yang sekarang, teritori negeri dibagi dalam dua bagian, yakni Uku dan Weroang, yang dipisahkan oleh Wai Mandoi.

Daerah Uku bertugas menjaga perbatasan dengan Hutumuri, sedangkan Weroang untuk menjaga perbatasan dengan Hukurila dan Ema. Daerah Weroang ditempati oleh soa-soa yang pada saat di Ama Buasa mendiami bagian Barat Beileu. Sedangkan Uku ditempati mata rumah Makatita, yang mendiami bagian Utara Baileu Negeri. Mata rumah Lessy, kemudian mendiami pesisir pantai di Tepa Puting, berdekatan dengan dusun soa, yang ditumbuhi tanaman sagu, yang dibawa oleh para datuk dari Rumahkay. Dalam waktu selanjutnya mereka berpindah ke negeri, dan menempati daerah bagian Selatan, berdekatan dengan pantai. Konstruksi permukiman seperti itu masih ada sampai saat ini.

Di negeri ketiga ini, pemerintahan negeri ditata secara rapih. Soa-soa tetap difungsikan. Hanya pemerintahan Kapitan beralih ke Raja dengan gelar Maspait Printah.

2. Lopurisa Uritalai: Falsafah dan Kearifan Lokal

Lopurisa Uritalai, nama adat Negeri Rutung, yang berarti “parang perang dipotong pada pohon”. Nama ini diperkirakan baru muncul dalam peristiwa datangnya moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary dari Amakele Lorimalahitu.

Nama ini menunjuk itikad baik orang Rutung untuk menghentikan perang. Mereka tidak mau berperang dengan orang lain, sebaliknya hendak membangun persaudaraan. Peristiwa itu terjadi di tempat musyawarah yang bernama “rutui”, di pesisir pantai (daerah kaki air Wai Hula).

Istilah “rutui” sendiri berarti “tempat berkumpul”. Dari arti itu, orang Rutung selalu terbuka kepada orang lain. Sudah menjadi kebiasaan, setiap tamu yang datang di negeri ini akan dilayani dengan sangat baik, karena setiap tamu dipandang sebagai bagian dari keluarga sendiri. Rutung adalah sebuah negeri yang kecil, tetapi spirit bersama dan berkumpul membuat orang suka datang ke negeri ini.

Persekutuan dan persaudaraan menjadi spirit sehingga tidak perlu berselisih, bahkan dengan negeri-negeri sekitar sekalipun. Ini telah menjadi semacam filsafat atau kearifan lokal yang muncul dari pengalaman sejarah masa lampau. Dengan kearifan lokal itu, orang-orang Rutung terbuka menerima siapa saja untuk menetap di sana. Lopurisa Uritalai sebagai nama adat dan falsafah negeri, mengidealkan sebuah perilaku yang rekonsiliatif. Ia lahir dari sebuah peristiwa musyawarah untuk menerima masuknya sekelompok orang baru ke dalam komunitas masyarakat negeri Rutung. Peristiwa itu disertai dengan komitmen berdamai. Sebuah falsafah yang memperlihatkan bahwa semangat persaudaraan itu termaterialisasi secara praktis dalam kehidupan orang Rutung.

Spirit ini menjadi dasar hidup bersama yang dimanifestasikan dalam berbagai ragam kehidupan masyarakat, termasuk seni.

Cakalele, sebagai tarian adat masyarakat Maluku. Di Rutung, Cakalele ini disebut sebagai “Cakalele Bulu Ayam”. Suatu ragam Cakalele yang lebih menampakkan suatu formasi kebersamaan, ibarat sebuah rangkaian syukuran (mungkin setelah menang dalam peperangan).

Syairnya “oh manu kiris e, manu maneggole, gege rege raga bumi, manu maenggole,
gege rege raga bumi, nanau lopurisa e”.

Syair ini lebih menunjuk pada perayaan sebuah kebersamaa menyambut datangnya seorang baru ke dalam komunits orang Rutung. Orang baru itu telah bersepakat untuk tinggal dan menetap sebagai bagain dari orang Rutung.

Bahkan formasi Kapitan, Malessy, dan pasukan Cakalele dalam barisan Cakalele ini pun menampakkan semangat kebersamaa. Apalagi, nyanyian pengantar cakalele biasa dinyanyikan oleh mata ina dari mata rumah Makatita Lisa.

Unsur Seni yang lain, yang menampakkan semangat persaudaraan orang-orang Rutung adalah Dansa Tali. Oleh pencetusnya (Marthen Thenu – Anak Talahatu), formasi talinya merupakan gambaran dari komposisi soa-soa di Rutung. Ketika tali dipintal menjadi dua, mensimbolkan daerah Uku dan Weroang, yang dipisahkan oleh Wai Mandoi. Kemudian disatukan kembali sebagai simbolisasi kebersamaan anak negeri Rutung. Tarian ini biasa dimainkan oleh Jujaro Ngungare, sebagai simbolisasi alih generasi. Kini bahkan dimainkan oleh anak-anak usia Sekolah Dasar.

Semangat itu pun tampak dalam pesta adat “Round Pisang”. Oleh pencetusnya, Bartholemeus Talahatu, arena round pisang dibuat seperti mata angin, yang menggambarkan batas-batas negeri. Pusat mata angin biasa ditanami sepohon pisang yang sudah siap panen. Titik pusat itu adalah representasi negeri yang berada di tengah pusaran mata angin. Setiap peserta round pisang akan berjalan menuju pusat dari semua penjuru mata angin.

Pohon pisang yang menancap di tengah arena, wajib disentuh oleh setiap peserta. Itu merupakan tanda dari potensi sumber daya alam yang tersedia di negeri Rutung. Kebersamaan itu menunjuk pada adanya ikatan yang kuat, bahkan dalam masa raya panen.

Orang Rutung, akan lebih dikenal dari rangkaian makna falsafah mereka seperti terurai tadi. Sekelompok masyarakat yang akrab dengan setiap orang. Sikapnya yang tenang, karena jauh dari gelora laut, serta tinggal di daerah lembah gunung Horil dan Bukit Tinggi.

Semangat bersekutu, bahkan dengan orang luar, adalah manifestasi dari pengalaman sejarah pertemuannya dengan komunitas lain, jauh pada masa leluhur.

Mae ka rutui
Fondasi kebersamaan anak negeri vor bangong negeri

27 Juli 2004
dari Kota Hati Beriman – Salatiga